Sunday, October 11, 2009

Forum Bisnis Online dan Politikana.Com

Akhir-akhir ini saya selain nongkrong di forum-forum bisnis online yaitu Jisportal dan Adsense-Id, saya sering juga mampir ke Politikana.Com, walaupun secara materi diantaranya tidak banyak mempunyai kesamaan tapi lumayan memberikan pencerahan kepada saya di bidang selain bisnis online yaitu tentang politik dan tetek bengeknya :D

Dan artikel berikut ini adalah satu artikel yang memberikan pencerahan kepada saya (walaupun tidak kental nuansa politiknya..hihihi). Langsung saya copas aja ya...

Lawan Gizi Buruk dengan Kelinci

Masalah gizi buruk terus menjadi masalah gawat di negeri ini. Hampir setiap bulan selalu saja ada media mengangkat ke permukaan. Menurut data badan PBB untuk urusan pangan atau United Nation World FoodProgramme (WFP) gizi buruk dan kelaparan masih menghantui sedikitnya 13 juta anak Indonesia. (Republika Newsroom 06/02/09). Dari sisi kajian dasar tentang gizi, kebutuhan minimum manusia akan protein hewani adalah: 8;1 Kg daging untuk setiap orang dalam satu tahun. Atau pada setiap bulan per orang membutuhkan 675 gram. Bisa dikonkretkan lagi, setiap minggu orang butuh rata-rata 169 gram gizi dari daging.

Persoalan gizi sebenarnya bukan urusan yang rumit. Masyarakat bawah pun sadar makanan bergizi sebagai kebutuhan. Dengan gizi yang baik kecerdasan dan kesehatan serta ketahanan tubuh akan mendorong prestasi pendidikan dan pekerjaan.

Gizi kelinci
Buruknya gizi rakyat, selain disebabkan oleh kebodohan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam juga karena ketidakmampuan pemerintah dalam memaksimalkan sejumlah potensi sumberdaya manusia. Seandainya pemerintah selalu mengeluhkan dana sampai-sampai banyak organisasi sosial yang mengambil alih tanggungjawab pemerintah untuk urusan ini, sebenarnya dengan modal cukup murah perbaikan gizi itu bisa dilakukan, terutama untuk mayoritas rakyat (petani) desa. Di era 1980an, pernah ada satu program pemasok gizi untuk rakyat miskin, terutama di pedesaan. Program itu dicetuskan oleh satu kelompok ternak kelinci di Bandung. Sejumlah peternak yang bernaung di bawah bendera “Romayo” di kawasan Setiabudhi Bandung itu memiliki gagasan “Pabrik Daging Mini di Pekarangan.” Dengan cukup memelihara 2-4 ekor kelinci, kaum tani miskin pun bisa mendapatkan kecukupan gizi cukup dalam setahun, bahkan mendapatkan penghasilan tambahan berupa uang dari hasil penjualan.

Menurut Ensminger (1990), daging kelinci memiliki kandungan proteinnya tinggi (25 %), rendah lemak (4%), dan kadar kolesterol daging juga rendah yaitu 1,39 g/kg (Rao et al. dalam Sartika , 1995). Sementara menurut sumber Tabloid Agrina (08/12/2006) menuliskan, kandungan lemak kelinci hanya 8%, sedangkan daging ayam, sapi, domba, dan babi masing-masing 12%, 24%, 14%, dan 21%. Kadar kolesterolnya sekitar 164 mg/100 gram daging, sedangkan ayam, sapi, domba, dan babi berkisar 220—250 mg/100 gram daging. Kandungan proteinnya mencapai 21%, sementara ternak lain hanya 17—20%.

Kalau urusannya pasokan gizi, bukankah ternak daging hewan apapun bisa dimanfaatkan? Kenapa kelinci? Makmur Suriaatmadja, aktivis pendorong “Romayo”, mantan Ketua Koperasi Institut Teknologi Bandung dan Mantan Ketua Yayasan Perbaikan Gizi (YAPIKA) kala itu sangat berperan dalam mendorong para petani menjawab pertanyaan penulis; “tak mungkin petani menyembelih domba, kambing atau sapinya hanya untuk pemasok gizi. Sedangkan itik atau ayam lebih praktis menjadi tabungan. Manakala butuh uang mendadak bisa menjual lebih praktis ke pasar. “

Konsep ternak kelinci skala kecil yang diusung Romayo secara singkat bisa diketahui sebagai berikut:

Populasi kelinci dalam setiap dua bulan sekali kelahiran mampu menghasilkan 4-8 ekor. Kelinci umur tiga bulan menghasilkan satu kg daging murni. Untuk memenuhi persyaratan gizi perlu dipotong lebih dari satu ekor perminggu atau lebih dari empat ekor per bulan.

Makanan yang diperlukan sekitar 1 ½ -2 bakul perhari untuk tiga ekor bibit dengan (3 X 6=18 ekor) anak-anaknya. Merawatnya tidak sulit tapi perlu rajin dan teliti. Kandang setiap hari harus bersih dan diperhatikan kesehatannya. Biaya yang diperlukan rendah. Kandang yang diperlukan untuk tiga bibit kelinci adalah tiga buah.

Disamping itu tiga buah lagi untuk menyimpan anak kelinci dari A, B dan C bila sudah waktunya disapih (setelah 50 hari) sampai siap untuk dipotong. Kandangnya dibuat beberapa minggu sebelum saat diperlukan menurut kebutuhan. Dapat dibuat sendiri dari bahan setempat atau barang-barang sisa.

Ukuran kandang untuk masing-masing bibit kelinci cukup 70 X 100 cm. Untuk tiap kelompok anak kelinci dari induk cukup 70 X 70 cm. Pekarangan yang diperlukan bagi “Pabrik Daging Mini” tidaklah besar, hanya butuh sekitar 3 kali luas kandang yang diperlukan tersebut.

Di Era 1980an beberapa desa di kawasan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menerapkan ini terbukti efektif. Hasil pergulatan Mamur Suriaatmadja bersama teman-temannya di Romayo dalam memberdayakan gizi mendapat perhatian dari Gubernur Solichin GP dan Presiden Soeharto. Bahkan beberapa tahun kemudian konsep “Pabrik Daging Mini di Pekarangan” itu diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Cina dan lain sebagainya. Organisasi Pangan Dunia, FAO sendiri banyak berhutang budi kepada rumusan Mamur Suriaatmadja dan kawan-kawan dalam hal pemberdayaan gizi keluarga di kalangan penduduk miskin pedesaan. Dengan kata lain, kelinci memang efektif dalam melawan gizi buruk di kalangan rakyat miskin, juga bisa menjadi solusi kelompok masyarakat elit yang gemar daging tapi takut resiko obesitas.

Bibit unggul dan pemberdayaan
Kalau bibit daging maupun bibit ternak besar (sapi, kambing dan domba) selama ini terus diimpor, kenapa bibit kelinci tidak? Indonesia hanya pernah mengimpor satu kali di masa orde baru, itupun setelah didorong oleh aktivis Romayo dan sebagian dibantu oleh kedutaan besar Belanda. Setelah itu bibit kelinci unggul semakin pudar dan susut. Peremajaan tidak pernah dilakukan. Bandingkan dengan Cina yang mengimpor bibit unggul kelinci setiap satu tahun sekali misalnya. Atau dengan negara-negara lain seperti Tailand, Vietnam. Pemerintah Indonesia kalah jauh dalam hal ini. Akibat tidak adanya bibit unggul baru serta tidak maksimalnya pemberdayaan, ternak kelinci di Indonesia terbengkelai, bahkan kemudian malah beralih menjadi kelinci hias yang hanya mengasilkan kesenangan kaum borjuasi semata. Potensi ilmu pengetahuan “pabrik daging di pekarangan” yang handal seperti itu justru banyak dimanfaatkan negara lain, sementara para pejabat di Indonesia hanya dibuat melongo manakala melihat kenyataan buruknya gizi rakyat. Lupa, tak tahu, atau memang tidak mau tahu? Saya tak tahu.

Penulis: Faiz Manshur
Source: Lawan Gizi Buruk dengan Kelinci

Mudah-mudahan bermanfaat...
Akhir-akhir ini saya selain nongkrong di forum-forum bisnis online yaitu Jisportal dan Adsense-Id, saya sering juga mampir ke Politikana.Com[...]

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home